teknologi identifikasi biometrics
Teknologi Identifikasi Biometrik
DALAM tayangan film layar lebar ala Hollywood sering kali kita melihat adegan di mana seseorang hendak memasuki sebuah ruangan rahasia. Untuk itu ia harus melewati sebuah perangkat identifikasi untuk memastikan bahwa hanya yang berhak yang dapat memasuki ruang tersebut. Ada berbagai metode, mulai dari menggesek kartu, memasukkan nomor, password, hingga memindai (scan) ibu jari dan matanya.
Tidak hanya itu, di bagian awal novelnya yang berjudul “Angels and Demons”, penulis Dan Brown--penulis novel best seller dan kontroversial, “The Da Vinci Code”--mengambil latar belakang sebuah lembaga penelitian CERN di Swiss. Diceritakan bahwa penelitian rahasia tentang anti-materi sedang dilakukan oleh seorang peneliti dalam sebuah ruangan bawah tanah yang dilengkapi dengan teknologi pengamanan yakni otentikasi dengan pemindaian retina mata manusia atau lebih dikenal dengan teknologi biometrik.
Dalam pengamanan fisik dikenal istilah access control yakni usaha untuk membatasi bahwa hanya orang-orang tertentu yang telah terdaftar yang dapat memasuki sebuah gedung atau ruangan. Usaha ini dapat dilakukan mulai dari bantuan manusia seperti satpam hingga perangkat mekanik seperti kunci, atau teknologi seperti sistem smart card. Mengapa biometrik?
Setiap tubuh manusia diciptakan oleh Tuhan secara unik dengan berbagai kombinasi struktur DNA yang tak terhingga dan sama sekali berbeda. Bahkan orang kembar pun mempunyai perbedaan karakter dan perbedaan lainnya. Teknologi biometrik memanfaatkan keunikan ini untuk memastikan bahwa hanya orang yang terdaftar dalam sistem yang diperbolehkan memasuki sistem, disertai dengan teknologi andal tanpa perlu pengawasan oleh manusia sebagai penjaga layaknya satpam.
Sidik jari
Awalnya teknologi biometrik bertumpu pada pengenalan sidik jari. Beberapa teknologi pemindaian jari antara lain optical fingerprint, digital fingerprint, capacitance fingerprint, thermal fingerprint, dan ultrasonic fingerprint. Pada optical maupun digital fingerprint, prinsipnya adalah dengan mengambil gambar dari jari yang dipindai. Namun, jika jari terkontaminasi oleh tinta, krim, atau lotion, teknik ini menjadi tidak efektif. Sedangkan capacitance fingerprint menghasilkan kualitas image yang lebih baik karena mampu mengambil gambar permukaan jari di bawah tinta atau kotoran yang menempel di jari. Akan tetapi, dengan area pemindaian hanya 0,5 inci x 0,5 inci, tidak cukup akurat untuk bisa mengidentifikasi seseorang. Alat ini juga sensitif terhadap pengaruh listrik statis.
Pada thermal fingerprint, sinar infra merah digunakan untuk mengindera perbedaan temperatur antara cekungan dengan bagian yang timbul pada sidik jari dalam pembentukan image sidik jari.
Pada ultrasonic fingerprint, menggunakan frekuensi gelombang suara yang tinggi untuk menangkap image jari. Ultrasound dapat menembus medium yang tertempel pada jari dengan kualitas image yang tinggi dan akurat sehingga disebut sebagai metode terbaik.
Salah satu kekurangan dari sistem identifikasi sidik jari adalah kelemahan yang memungkinkan sidik jari palsu bisa digunakan. Mungkin pembaca pernah melihat film Charlie’s Angel yang menunjukkan adegan di mana musuh Angel diminta memegang sebuah gelas, lalu sidik jarinya yang menempel pada gelas diambil sebagai pola sidik jari palsu yang dibuat dari bahan karet. Metode penipuan sidik jari ini ternyata betul secara ilmiah bisa digunakan untuk menipu scanner sidik jari. Ini dibuktikan oleh seorang peneliti dari Jepang, Prof. Tsutomo Matsumoto. Karena alasan itulah orang kemudian mencari sistem biometrik yang lebih andal.
Pemindai retina dan iris
Retina merupakan bagian dari mata yang bertanggung jawab pada kemampuan melihat manusia. Pola dari pembuluh darah yang membentuk retina mata sama uniknya dengan sidik jari. Prinsip teknologi retinal scanning adalah memindai pola pembuluh darah kapiler pada retina dengan sumber cahaya intensitas rendah. Tahun 1987, alat pemindai retina yang pertama dibuat oleh Leonard Flom dan Aram Safir dan telah dipatenkan. Namun, menjelang tahun 1994 John Daugman mengembangkan teknologi pemindaian iris yang menjadi pesaing retinal scanner.
Prinsip pemindaian retina
Retinal scanning berdasar pada jaringan kapiler halus yang memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi bagi retina. Pembuluh darah ini menyerap cahaya dan dengan mudah dapat divisualisasikan dengan penerangan yang tepat. Untuk itu, diperlukan jarak yang dekat antara mata dengan scanner, posisi mata terhadap scanner yang pas dan tidak ada pergerakan mata seperti berkedip atau melirik. Agar posisi mata pas, terdapat sebuah titik kecil berwarna hijau yang harus dilihat oleh mata sebagai titik acuan. Cahaya koheren intensitas rendah ditransmisikan pada mata kemudian refleksi image pola pembuluh darah kapiler retina dicatat oleh komputer.
Retinal scan ini tidak bisa 100 persen akurat dan kurang cocok sebagai alat keamanan universal karena meski biasanya seumur hayat manusia pola pembuluh darah kapiler retinanya tidak berubah, namun penyakit diabetes, glaukoma, dan katarak mampu mengubahnya.
Pada proses pemasukan data atau pendaftaran orang yang diberi hak akses, diperlukan minimum 5 hasil scan sekira 45 detik, sedangkan pada proses otentikasi hanya diperlukan 10-15 detik. Image yang diperoleh file-nya berukuran 35 bit terdiri dari 320-400 titik referensi yang kemudian dikonversi menjadi sebuah peta retina dan digunakan untuk mencocokkan. Jadi, singkat kata, setiap orang yang hendak masuk dicek dulu apakah peta retinanya ada yang cocok dalam daftar.
Pemindaian iris
Dalam perkembangannya retinal scan dianggap terlalu mengganggu untuk alat deteksi keamanan karena mata harus sedekat mungkin dengan scanner. Selain itu, efek negatif jangka panjang dari cahaya scanner jarak dekat terhadap mata menjadi ganjalan teknologi ini. Karena kelemahan di atas, teknologi pemindaian iris pun muncul sebagai kompetitor kuatnya. Iris, jaringan yang memberi warna mata kita juga unik di mana peluang terjadinya dua iris identik ialah 1 banding1.078, bahkan iris mata kiri dan kanan seseorang pun berbeda.
Prosedur pemindaian iris lebih mirip dengan pemindaian sidik jari yaitu dengan menganalisis beberapa ciri khas pada jaringan yang mengitari pupil misal galur-galur kontraksinya. Sebanyak 240 titik dicatat dengan ukuran image 512 bit. Kelebihannya, jarak antara mata dengan scanner bisa sampai 3 kaki (kurang lebih 1 meter) dengan waktu 20 detik dan dibutuhkan 2 detik saja untuk proses identifikasi. Selain itu, penggunaan kacamata atau pun contact lense tidak akan mengganggu pemindaian maupun identifikasi. Untuk mengatasi usaha mengelabui sistem dengan menggunakan mata palsu, cahaya yang ditransmisikan ke mata diubah-ubah intensitasnya. Jika pupil tidak membesar dengan intensitas yang makin tinggi, artinya mata yang dipindai adalah palsu.
Keperluan keamanan
Teknologi biometrik digunakan untuk keperluan identifikasi dan otentikasi. Untuk otentikasi, diperlukan akurasi yang tinggi untuk menjamin pengaksesan yang terbatas. Baik retinal scans maupun iris scans memberikan akurasi yang tinggi. Pengguna pertama retinal scans adalah militer dan agen pemerintah Amerika Serikat seperti CIA, FBI, dan NASA. Teknologi ini juga digunakan oleh Cook County Prison di Illnois untuk memastikan identitas para narapidana.
Beberapa bank di Jepang menggunakan retinal scans di mesin ATM untuk mencegah pihak yang tak punya hak memasuki sistem mereka. Selain itu, identifikasi iris mata juga digunakan pada tempat-tempat umum seperti bandara Schiphol, Belanda ,sejak tahun 2001. Di sini, scanner iris mata digunakan sebagai pengganti paspor. Uni Emirat Arab juga menerapkan teknologi ini di 17 pintu perbatasan juga sejak tahun 2001. Kapan di Indonesia?***
Dian Putri Maharani
Konsultan TI & pengelola exipion.com
0 komentar:
Posting Komentar