Grafika, Satu Kekuatan Ekonomi Bandung
GRAFIKA. Tak banyak yang menyadari industri grafika sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, mulai dari lahir hingga ketika tutup usia. Bahkan bisa dikatakan majunya peradaban manusia setelah manusia mengenal produk grafika berupa tulisan. Namun begitu, masyarakat pada umumnya menganggap industri grafika hanya terbatas pada industri percetakan. Padahal, industri grafika meliputi segala sesuatu yang mengalami proses cetak, mulai dari buku hingga pengemasan (packaging).
OPERATOR mengoperasikan salah satu mesin pada pameran Jabar Grafika Expo 2007 di Graha Mandala Siliwangi, Jalan Aceh Bandung, Selasa (20/3). Seiring perkembangan teknologi informasi, industri grafika pun maju pesat.* ANDRI GURNITA/”PR”
Berkembangnya teknologi informasi memberi peluang pada industri grafika untuk lebih maju, terlebih industri ini membutuhkan kreativitas pelaku bisnisnya. Diakui Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia (PPGI) Jawa Barat, R. Bambang Rochyadi, industri grafika sempat mengalami kelesuan pada 2006. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi, antara lain munculnya mesin cetak dengan kemampuan digital, prospek industri grafika ke depan sangat bagus.
**
Meskipun bermula pada industri percetakan, pada era sekarang, industri packaging atau pengemasan mulai menunjukkan geliatnya. Bahkan bisa dibilang industri pengemasan mulai mendominasi industri grafika dengan mengambil posisi sebesar 80 persen. “Komposisi industri grafika, saat ini mulai bergeser. Jika dulu didominasi percetakan, sekarang 80% industri grafika dikuasai oleh pengemasan, sisanya baru percetakan,” tutur Bambang.
Hal ini bisa dilihat dari semakin beragamnya kemasan yang ditampilkan oleh hampir semua produk. Bahkan, produk usaha kecil pun tak lepas dari proses pengemasan. Hasilnya, industri ini semakin berkembang dan mulai mendominasi.
Prospek di Jabar untuk industri ini pun dinilai sangat menjanjikan. Sebab, lebih dari 600 usaha percetakan ada di Jabar. Empat ratus di antaranya ada di Bandung. Jumlah ini belum termasuk usaha kecil yang kadang tidak terdata. Dari segi jumlah, industri ini dinilai sebagai salah satu kekuatan ekonomi yang besar.
Bahkan, Gubernur Jabar, Danny Setiawan, pun merasa kagum dengan perkembangan yang ada sekarang. “Teknologi cetak jarak jauh merupakan terobosan yang luar biasa yang membuktikan perkembangan industri grafika ini,” tuturnya saat membuka Jabar Grafika Expo 2007 beberapa hari lalu. Sementara, Ketua Kadin Jabar, Iwan D. Hanafi optimistis industri ini lebih kondusif dibandingkan dunia usaha lain.
**
Ironisnya, industri yang berkembang pesat tidak diimbangi dengan sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Sebagian besar pelaku industri grafika belajar secara otodidak. “Disayangkan, industri ini sangat berkembang di Bandung, tetapi tidak ada sekolah jurusan grafika,” tutur Bambang. Biasanya, jurusan yang mendekati grafika yakni desain visual, maupun komunikasi.
Selain dari kualitasnya, kuantitas SDM-nya pun tidak sebanding dengan perkembangan industri grafika. Industri grafika hanya berkembang di daerah perkotaan, khususnya di Bandung.
“Memang industri ini lebih bergantung pada kreativitas SDM-nya, tetapi keahlian tersebut perlu juga diasah melalui pendidikan di lembaga pendidikan,” tuturnya.
Di daerah, kata Bambang, seringkali terjadi mendirikan perusahaan percetakan hanya berbekal papan nama. Sementara untuk pengerjaannya akan diserahkan ke kota, terutama di Bandung. Sebab, untuk memulai usaha ini tidak sedikit modal yang akan diinvestasikan, misalnya pembelian mesin yang mencapai Rp 200 juta untuk mesin bekas.
Dikatakan Bambang, dengan perawatan yang baik mesin tahun 1980-an masih mampu memenuhi kapasitas standar. Hal ini terkadang menimbulkan usaha baru bagi pelaku usaha. Misalnya dengan menyewakan mesin bagi pengusaha lain. Sebab, order untuk tiap perusahaan tidak pernah sepi.
“Daerah pun harus didorong untuk mampu mengusahakan sendiri percetakan dengan mesin, bukan hanya berbekal papan nama,” kata Bambang. Namun, untuk menumbuhkan usaha di daerah tidak mudah. Sekolah untuk mengasah keahlian mereka belum ada. Sementara untuk belajar secara otodidak diperlukan waktu yang lebih lama. Jika salah perawatan mesin, kerugian yang akan didapatkan.
Sekretaris DPD PPGI Jabar, Mahpudi, mengatakan selama ini asumsi masyarakat sering salah. “Urusan cetak selama ini diasumsikan sebagai pekerjaan bagi blue colllar, padahal white collar pun banyak dibutuhkan,” tutur Mahpudi.
Setidaknya, dibutuhkan 10 orang karyawan untuk menjalankan sebuah usaha grafis yang relatif mapan. “Bisa dikatakan industri grafika merupakan industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja,” ucap Mahpudi. Belum lagi, jika order yang didapatkan besar, tenaga tambahan pun akan direkrut.
Diakui Mahpudi, tidak semua tenaga kerja harus tahu benar grafika. Sebab, untuk kebutuhan finishing, hanya diperlukan tenaga kerja yang teliti dan cermat. “Memang harus dilatih, tetapi tidak perlu mempunyai keahlian grafis,” ujar Mahpudi. Biasanya, untuk tenaga kerja di bidang finishing dipilih wanita. Sebab, mereka dinilai lebih teliti dan cermat.
**
Kendala lain yang ditemui yakni bahan baku. Secara kasar, modal pelaku usaha kita selama ini hanya air dan kreativitas. Bagaimana tidak, jika tinta dan kertas masih merupakan barang impor. “Khusus untuk tinta, 90 persen masih barang impor. Pigmen yang dihasilkan oleh industri tinta nasional masih belum bisa memenuhi warna yang sempurna untuk hasil cetakan,” ujar Mahpudi. Selain itu, kertas pun sebagian besar masih merupakan produk luar. Hal ini seringkali menyebabkan ongkos produksi masih tinggi.
Ketua Kadin Jabar, Iwan D. Hanafi mengatakan perlu adanya merjer antara perusahaan besar dan usaha kecil. Paling tidak, merjer dalam hal marketing maupun penyediaan bahan baku merupakan salah satu langkah yang harus mulai diambil ke depannya. “Dengan pembelian dalam jumlah banyak, akan menekan biaya produksi,” ujar Iwan.
Selain menghemat ongkos produksi, merjer pun bisa dijadikan sebuah sarana untuk meratakan industri grafika. “Paling tidak, industri kecil akan tetap mendapatkan order dari industri besar,” ungkapnya.
**
Ketika disinggung berapa besar kontribusi industri ini, Bambang tidak bisa menjelaskan secara angka. Namun, dia mengatakan hal ini bisa dilihat dari besarnya jumlah konsumsi belanja pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. “Hampir semua barang cetakan ada, mulai dari buku, rapor, alat tulis kantor (ATK) sampai pada soal ujian. Hal ini menggambarkan pergerakan grafika semakin tinggi,” ujarnya.
Di Bandung, sentra industri grafika banyak tumbuh, salah satunya di Pagarsih. Meskipun awalnya hanya sebuah tempat jual beli kertas sisa, saat ini perputaran uang di sentra ini jika dihitung secara matematis mencapai Rp 4 juta untuk satu mesin. Padahal, rata-rata satu usaha yang ada di Pagarsih memiliki 3 hingga 5 mesin. Sementara jumlah usaha yang ada di tempat itu hampir ratusan, jika seluruh gang kecil ikut ditelusuri. “Usaha yang besar hanya berkisar 60-an usaha,” ujar Bambang.
Tumbuhnya industri grafika di kawasan Pagarsih, kata Bambang seiring dengan semakin komplitnya kebutuhan masyarakat. Pertama, mereka hanya jual beli kertas sisa, kemudian permintaan cetak kertas khusus pun mulai tumbuh. Hingga akhirnya secara kontinu industri grafika mulai berkembang.
Sekarang, pemikiran bahwa industri grafika hanya sebatas koran yang sedang Anda baca tampaknya perlu diubah. Kaus, kemasan sampo, kardus karton, hingga kemasan kaleng merupakan bentuk produk grafika yang secara langsung menyentuh kehidupan kita. (Kismi/”PR”)***
GRAFIKA. Tak banyak yang menyadari industri grafika sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, mulai dari lahir hingga ketika tutup usia. Bahkan bisa dikatakan majunya peradaban manusia setelah manusia mengenal produk grafika berupa tulisan. Namun begitu, masyarakat pada umumnya menganggap industri grafika hanya terbatas pada industri percetakan. Padahal, industri grafika meliputi segala sesuatu yang mengalami proses cetak, mulai dari buku hingga pengemasan (packaging).
OPERATOR mengoperasikan salah satu mesin pada pameran Jabar Grafika Expo 2007 di Graha Mandala Siliwangi, Jalan Aceh Bandung, Selasa (20/3). Seiring perkembangan teknologi informasi, industri grafika pun maju pesat.* ANDRI GURNITA/”PR”
Berkembangnya teknologi informasi memberi peluang pada industri grafika untuk lebih maju, terlebih industri ini membutuhkan kreativitas pelaku bisnisnya. Diakui Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Persatuan Perusahaan Grafika Indonesia (PPGI) Jawa Barat, R. Bambang Rochyadi, industri grafika sempat mengalami kelesuan pada 2006. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi, antara lain munculnya mesin cetak dengan kemampuan digital, prospek industri grafika ke depan sangat bagus.
**
Meskipun bermula pada industri percetakan, pada era sekarang, industri packaging atau pengemasan mulai menunjukkan geliatnya. Bahkan bisa dibilang industri pengemasan mulai mendominasi industri grafika dengan mengambil posisi sebesar 80 persen. “Komposisi industri grafika, saat ini mulai bergeser. Jika dulu didominasi percetakan, sekarang 80% industri grafika dikuasai oleh pengemasan, sisanya baru percetakan,” tutur Bambang.
Hal ini bisa dilihat dari semakin beragamnya kemasan yang ditampilkan oleh hampir semua produk. Bahkan, produk usaha kecil pun tak lepas dari proses pengemasan. Hasilnya, industri ini semakin berkembang dan mulai mendominasi.
Prospek di Jabar untuk industri ini pun dinilai sangat menjanjikan. Sebab, lebih dari 600 usaha percetakan ada di Jabar. Empat ratus di antaranya ada di Bandung. Jumlah ini belum termasuk usaha kecil yang kadang tidak terdata. Dari segi jumlah, industri ini dinilai sebagai salah satu kekuatan ekonomi yang besar.
Bahkan, Gubernur Jabar, Danny Setiawan, pun merasa kagum dengan perkembangan yang ada sekarang. “Teknologi cetak jarak jauh merupakan terobosan yang luar biasa yang membuktikan perkembangan industri grafika ini,” tuturnya saat membuka Jabar Grafika Expo 2007 beberapa hari lalu. Sementara, Ketua Kadin Jabar, Iwan D. Hanafi optimistis industri ini lebih kondusif dibandingkan dunia usaha lain.
**
Ironisnya, industri yang berkembang pesat tidak diimbangi dengan sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Sebagian besar pelaku industri grafika belajar secara otodidak. “Disayangkan, industri ini sangat berkembang di Bandung, tetapi tidak ada sekolah jurusan grafika,” tutur Bambang. Biasanya, jurusan yang mendekati grafika yakni desain visual, maupun komunikasi.
Selain dari kualitasnya, kuantitas SDM-nya pun tidak sebanding dengan perkembangan industri grafika. Industri grafika hanya berkembang di daerah perkotaan, khususnya di Bandung.
“Memang industri ini lebih bergantung pada kreativitas SDM-nya, tetapi keahlian tersebut perlu juga diasah melalui pendidikan di lembaga pendidikan,” tuturnya.
Di daerah, kata Bambang, seringkali terjadi mendirikan perusahaan percetakan hanya berbekal papan nama. Sementara untuk pengerjaannya akan diserahkan ke kota, terutama di Bandung. Sebab, untuk memulai usaha ini tidak sedikit modal yang akan diinvestasikan, misalnya pembelian mesin yang mencapai Rp 200 juta untuk mesin bekas.
Dikatakan Bambang, dengan perawatan yang baik mesin tahun 1980-an masih mampu memenuhi kapasitas standar. Hal ini terkadang menimbulkan usaha baru bagi pelaku usaha. Misalnya dengan menyewakan mesin bagi pengusaha lain. Sebab, order untuk tiap perusahaan tidak pernah sepi.
“Daerah pun harus didorong untuk mampu mengusahakan sendiri percetakan dengan mesin, bukan hanya berbekal papan nama,” kata Bambang. Namun, untuk menumbuhkan usaha di daerah tidak mudah. Sekolah untuk mengasah keahlian mereka belum ada. Sementara untuk belajar secara otodidak diperlukan waktu yang lebih lama. Jika salah perawatan mesin, kerugian yang akan didapatkan.
Sekretaris DPD PPGI Jabar, Mahpudi, mengatakan selama ini asumsi masyarakat sering salah. “Urusan cetak selama ini diasumsikan sebagai pekerjaan bagi blue colllar, padahal white collar pun banyak dibutuhkan,” tutur Mahpudi.
Setidaknya, dibutuhkan 10 orang karyawan untuk menjalankan sebuah usaha grafis yang relatif mapan. “Bisa dikatakan industri grafika merupakan industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja,” ucap Mahpudi. Belum lagi, jika order yang didapatkan besar, tenaga tambahan pun akan direkrut.
Diakui Mahpudi, tidak semua tenaga kerja harus tahu benar grafika. Sebab, untuk kebutuhan finishing, hanya diperlukan tenaga kerja yang teliti dan cermat. “Memang harus dilatih, tetapi tidak perlu mempunyai keahlian grafis,” ujar Mahpudi. Biasanya, untuk tenaga kerja di bidang finishing dipilih wanita. Sebab, mereka dinilai lebih teliti dan cermat.
**
Kendala lain yang ditemui yakni bahan baku. Secara kasar, modal pelaku usaha kita selama ini hanya air dan kreativitas. Bagaimana tidak, jika tinta dan kertas masih merupakan barang impor. “Khusus untuk tinta, 90 persen masih barang impor. Pigmen yang dihasilkan oleh industri tinta nasional masih belum bisa memenuhi warna yang sempurna untuk hasil cetakan,” ujar Mahpudi. Selain itu, kertas pun sebagian besar masih merupakan produk luar. Hal ini seringkali menyebabkan ongkos produksi masih tinggi.
Ketua Kadin Jabar, Iwan D. Hanafi mengatakan perlu adanya merjer antara perusahaan besar dan usaha kecil. Paling tidak, merjer dalam hal marketing maupun penyediaan bahan baku merupakan salah satu langkah yang harus mulai diambil ke depannya. “Dengan pembelian dalam jumlah banyak, akan menekan biaya produksi,” ujar Iwan.
Selain menghemat ongkos produksi, merjer pun bisa dijadikan sebuah sarana untuk meratakan industri grafika. “Paling tidak, industri kecil akan tetap mendapatkan order dari industri besar,” ungkapnya.
**
Ketika disinggung berapa besar kontribusi industri ini, Bambang tidak bisa menjelaskan secara angka. Namun, dia mengatakan hal ini bisa dilihat dari besarnya jumlah konsumsi belanja pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. “Hampir semua barang cetakan ada, mulai dari buku, rapor, alat tulis kantor (ATK) sampai pada soal ujian. Hal ini menggambarkan pergerakan grafika semakin tinggi,” ujarnya.
Di Bandung, sentra industri grafika banyak tumbuh, salah satunya di Pagarsih. Meskipun awalnya hanya sebuah tempat jual beli kertas sisa, saat ini perputaran uang di sentra ini jika dihitung secara matematis mencapai Rp 4 juta untuk satu mesin. Padahal, rata-rata satu usaha yang ada di Pagarsih memiliki 3 hingga 5 mesin. Sementara jumlah usaha yang ada di tempat itu hampir ratusan, jika seluruh gang kecil ikut ditelusuri. “Usaha yang besar hanya berkisar 60-an usaha,” ujar Bambang.
Tumbuhnya industri grafika di kawasan Pagarsih, kata Bambang seiring dengan semakin komplitnya kebutuhan masyarakat. Pertama, mereka hanya jual beli kertas sisa, kemudian permintaan cetak kertas khusus pun mulai tumbuh. Hingga akhirnya secara kontinu industri grafika mulai berkembang.
Sekarang, pemikiran bahwa industri grafika hanya sebatas koran yang sedang Anda baca tampaknya perlu diubah. Kaus, kemasan sampo, kardus karton, hingga kemasan kaleng merupakan bentuk produk grafika yang secara langsung menyentuh kehidupan kita. (Kismi/”PR”)***
0 komentar:
Posting Komentar